NARASIKOE.COM – SETIAP menjelang tahun baru, Indonesia kembali menggelar satu ritual klasik yang tidak pernah absen dari panggung ekonomi: pemerintah mengumumkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP), serikat pekerja bersiap turun ke jalan, dan pengusaha menghitung ulang biaya produksi sambil berharap tidak ada kejutan baru dari birokrasi.
Tahun ini ritual itu diberi pernak-pernik baru, yakni formula, rentang, alfa, simulasi teknis. Seolah-olah seluruh persoalan upah akan terselesaikan hanya dengan memoles rumus. Padahal, di balik bahasa teknokratis itu, realitasnya tetap telanjang: upah nominal memang naik, tetapi upah riil tetap bocor.
Bocornya bukan karena perusahaan menahan hak pekerja, melainkan karena negara gagal menjaga fondasi paling mendasar dari kesejahteraan, yaitu harga yang stabil, pangan yang terjangkau, dan kurs yang tidak hobi melemah.
Upah pekerja hari ini ibarat air yang dituangkan ke ember berlubang. Berapa pun ditambahkan, tetap merembes keluar.
Nilai Uang Merosot
Gaji bisa saja naik 7%, tetapi ketika beras naik 15%, cabai 40%, telur 12%, ongkos transportasi merayap, dan tarif listrik naik diam-diam, maka pekerja tidak semakin sejahtera, mereka malah semakin terengah-engah. Slip gaji memang terlihat lebih gemuk, namun isi keranjang belanja makin kurus.
Inilah titik rapuh kebijakan upah kita. Negara sibuk merapikan angka, tapi lupa merapikan kehidupan. Pemerintah berbicara tentang upah seperti sedang merias wajah ekonomi. Diberi lipstik merah agar tampak segar, padahal keriput strukturalnya tak berubah.
Sementara itu, pemain besar di tata niaga pangan terus menikmati rente, inflasi pangan bergerak liar, dan rupiah melemah bagai kapal tanpa jangkar. Naik-turun UMP tidak ada artinya kalau harga kebutuhan pokok terus menghajar daya beli.
Akar Masalah
Kenaikan upah selalu diperlakukan seperti obat mujarab, padahal ia hanyalah obat pereda nyeri, bukan penyembuh penyakit. Penyakit sebenarnya ada di tiga titik berikut ini.
Pertama, inflasi pangan yang ugal-ugalan. Struktur pangan Indonesia oligopolistik. Beberapa pemain besar menguasai distribusi, sementara tata niaga diatur dengan logika yang lebih banyak politis daripada ekonomis.
Di lapangan, rantai pasok panjang, biaya logistik mahal, dan data stok nasional tidak transparan. Akibatnya, harga bergerak liar dan pekerja menjadi korban pertama.
Kedua, rupiah yang kronis melemah. Setiap kurs melemah berarti harga impor naik: pupuk, pakan, BBM, gandum, kedelai, bahkan bahan baku industri kecil. Semua melompat. Pengusaha tercekik, pekerja terimpit.
Rupiah tidak melemah karena “situasi global semata” , tetapi karena defisit fiskal melebar, ketidakpastian politik meningkat, dan kebijakan ekonomi sering berubah arah tanpa kompas.
Ketiga, iklim usaha yang tidak stabil. Tidak ada investor yang mau menanamkan modal di tempat yang aturannya berubah-ubah seperti cuaca. Satu hari dibuat, tiga hari kemudian direvisi, seminggu setelahnya dibatalkan.
Efek dominonya jelas: ekspansi terhenti, lapangan kerja seret, produktivitas tak meningkat. Selama tiga racun ini dibiarkan, kenaikan UMP hanyalah kosmetik di wajah ekonomi yang kusut.
Perombakan Fondasi
Jika pemerintah benar-benar ingin kesejahteraan pekerja naik tanpa mematikan dunia usaha, ada empat langkah yang tidak bisa ditawar.
Pertama, rumus upah yang menyentuh realitas. Dasar kenaikan UMP harus bergeser dari inflasi umum ke inflasi pangan, karena itulah yang paling menentukan kesejahteraan pekerja.
Tambahkan pula roadmap kenaikan upah 3–5 tahun supaya perusahaan bisa merencanakan investasi dan pekerja punya kepastian arah pendapatan.
Untuk UMKM, negara harus memberi insentif fiskal, bukan sekadar menuntut. Tanpa itu, UMKM akan jadi korban pertama dari kenaikan upah.
Kedua, produktivitas naik, upah juga naik. Negara harus berhenti membakar anggaran pelatihan vokasi yang tidak relevan dengan kebutuhan industri. Pelatihan harus berbasis permintaan pasar, bukan berbasis seminar dan sertifikat.
Kemudian bangun sistem gain sharing: ketika produktivitas naik, pekerja otomatis mendapatkan bagiannya. Ini sehat, adil, dan mendorong kedua pihak untuk maju bersama.
Ketiga, menjinakkan inflasi pangan. Ini wajib. Untuk pertama kalinya, pemerintah perlu berani mengobrak-abrik tata niaga pangan yang sarat rente.
Caranya dengan memangkas rantai pasok yang terlalu panjang, membatasi rente oligopoli dengan transparansi stok dan distribusi, mengembangkan logistik dingin dan pasar digital, memperkuat buffer stock strategis, mengurangi ketergantungan impor yang melemahkan kurs.
Jika pangan stabil, kenaikan upah tidak perlu agresif. Kesejahteraan naik tanpa mengorbankan dunia usaha.
Pekerja butuh upah yang naik, tetapi pengusaha butuh kepastian agar bisa menciptakan lapangan kerja. Stabilitas makro adalah simpul tengahnya.
Artinya, defisit fiskal harus dijaga, kebijakan moneter konsisten, dan yang terpenting: hentikan regulatory flipping—aturan berubah-ubah yang membuat investor trauma.
Tanpa kepastian, tidak ada investasi. Tanpa investasi, tidak ada produktivitas. Tanpa produktivitas, upah sulit naik secara nyata.
Kenaikan upah bukanlah tujuan, kesejahteraanlah tujuan utamanya. Indonesia terjebak bertahun-tahun pada perdebatan angka, padahal yang dibutuhkan adalah perbaikan sistem.
Upah naik memang perlu, tapi ia tidak akan pernah cukup jika harga-harga terus meroket dan kurs rupiah terus melemah. Kesejahteraan pekerja tidak akan datang dari rumus upah, ia hanya akan datang dari fondasi ekonomi yang sehat.
Pemerintah, pekerja, dan pengusaha sama-sama membutuhkan satu hal: kepastian.
Tanpa itu, upah boleh naik tiap tahun tetapi hidup akan tetap seret, dan pekerja akan tetap menjadi kelas dua di negeri sendiri. (*)
Dirgoyuswo, pengurus pleno Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Tengah.
